Skandal Keracunan Massal MBG: Sorotan Tajam pada Peran SPPG dan Desakan Moratorium

Share ke social media

JURNALISTA.ID – JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digalakkan pemerintah kini menghadapi krisis serius setelah kasus keracunan massal menimpa lebih dari 7.000 anak penerima manfaat. Insiden ini sontak mengalihkan sorotan pada jantung operasional program, yaitu Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG), mitra yang bertanggung jawab langsung atas penyediaan dan distribusi makanan di lapangan.

​SPPG, yang ditargetkan Badan Gizi Nasional (BGN) mencapai 31.000 unit di seluruh Indonesia untuk melayani 82 juta orang penerima MBG hingga akhir 2025, memiliki peran krusial. Namun, kasus keracunan ini mengungkap serangkaian kendala serius yang mengancam kredibilitas program.

​Masalah Higiene dan Respon Pemerintah

​Salah satu masalah mendasar yang terungkap adalah bahwa sejumlah SPPG ternyata masih dalam proses pengurusan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) dari Kementerian Kesehatan, padahal mereka sudah aktif beroperasi. Ketiadaan sertifikasi vital ini mengindikasikan lemahnya pengawasan standar kebersihan dan keamanan pangan.

​Menanggapi bencana keracunan yang meluas, pemerintah mengambil langkah tegas dengan menutup puluhan SPPG yang dianggap bermasalah. Meskipun langkah ini cepat, bagi para pegiat kesehatan masyarakat, tindakan tersebut dinilai belum cukup komprehensif.

​Desakan Moratorium dan Payung Hukum

​Pegiat kesehatan masyarakat melontarkan kritik keras, mendesak pemerintah agar mempertimbangkan penghentian sementara (moratorium) program MBG secara total.

​”Pemerintah perlu me-moratorium operasionalisasi penambahan SPPG dan jumlah penerima manfaat MBG hingga akhir 2025 agar lebih berfokus untuk mengevaluasi program MBG secara menyeluruh,” ujar seorang pegiat.

​Desakan ini muncul seiring perlunya payung hukum yang tegas dan sistematis untuk menjamin standar kualitas makanan dan mengikat tanggung jawab semua pihak yang terlibat dalam rantai penyediaan MBG.

​SPPG: Bukan Satu-satunya Pihak yang Perlu Dikritisi

​Meskipun kritik tertuju tajam pada SPPG, program ini adalah kemitraan dengan BGN, yang bertanggung jawab atas target kuantitas dan kualitas gizi. SPPG bekerja sebagai eksekutor lapangan, menyediakan dan mendistribusikan menu harian sesuai pedoman.

​Oleh karena itu, persoalan keracunan yang masif ini tidak dapat hanya dibebankan pada SPPG. Evaluasi dan kritik semestinya diarahkan pada keseluruhan rantai komando dan pengawasan. Hal-hal yang perlu dipertanyakan adalah:

  1. Pengawasan BGN: Apakah Badan Gizi Nasional telah melakukan audit dan pengawasan mutu secara ketat sebelum dan selama SPPG beroperasi, khususnya terkait kepemilikan SLHS?
  2. Regulasi dan Target: Apakah target ambisius 31.000 SPPG dan 82 juta penerima manfaat hingga akhir 2025 memicu operasionalisasi yang tergesa-gesa tanpa memperhatikan kelayakan dan standar higienis?
  3. Payung Hukum: Apakah kerangka hukum dan sanksi yang ada saat ini cukup kuat untuk menindak pihak-pihak yang melanggar standar keamanan pangan, baik di tingkat pelaksana (SPPG) maupun pengawas?

​Kesimpulannya, SPPG memang menjadi titik fokus masalah karena bersentuhan langsung dengan makanan yang didistribusikan. Namun, kegagalan ini adalah cermin dari kelemahan sistematis mulai dari perencanaan, regulasi, hingga pengawasan program di tingkat pusat oleh Badan Gizi Nasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *